Gayung Bersambut
Relationship goals dengan orang itu menurut
saya ibarat gayung bersambut. Ketika saya bilang si A adalah teman saya,
idealnya si A juga menganggap saya teman, bukan sekedar acquaintance. Kalo saya
menganggap si A teman sementara si A menganggap saya cuma kenalannya, itu ga
enak di saya. Kalau saya nganggap si A teman sementara si A nganggap saya
sahabat (re : tingkatannya lebih tinggi dari teman) dia, itu ga enak di si A. Ketika
ketidaksetaraan itu terjadi, pasti ada salah satu pihak yang tersakiti atau merasa
“fooled”. Jadi bagi saya, penting untuk memastikan apakah perasaan yang saya
rasakan ke seseorang itu berbanding lurus dengan apa yang orang itu rasakan
terhadap saya. Demikian halnya ketika
saya berada di suatu lingkungan organisasi atau orang-orang yang berelasi
dengan saya.
Pasti sudah familiar dengan tagline “Kita
kan keluarga” di organisasi. Kadang saya suka bertanya-tanya sih, semudah
itukah mereka yang menggagas tagline tersebut merasa attached dengan sesuatu
lantas dengan mudahnya mengklaim kalau mereka adalah keluarga? Kemudian
menggagas berbagai kegiatan bersama alih alih “Ya kan kita keluarga, harus
quality time dong biar akrab”. Dari sisi orang yang merasa sih sebenarnya
bebas-bebas aja, tapi pernah ngga orang yang merasa belongs to organization
berpikir tentang temannya yang lain yang satu organisasi dengan dia? Apakah
semua orang yang ada di organisasi merasakan hal yang sama dengan dia?
Bagaimana kalo kamu merasa dekat sekali dan hati sudah merasa terpaut disana
sementara ada temanmu di organisasi yang sama sekali tidak merasa demikian?
Kalau ternyata hal itu terjadi, apakah
orang-orang yang belongs to organization tersebut tidak merasa egois karena
telah memaksakan kehendaknya untuk quality time sementara ada orang yang merasa
ga se-attached itu sama organisasi atau orang yang tidak menganggap
teman-temannya di organisasi sebagai keluarga melainkan sebatas partner. Kemudian
orang jenis ini masih diminta untuk ikutan. Apa alasan dia harus tetap ikut
sementara dia tidak punya perasaan yang sama? Haruskah dia ikut demi
menyenangkan perasaan orang-orang yang menggagas quality time? Sometimes you
can do that only for the sake of others but there’s time when you really can’t
betray your feeling. Sometimes do something just for satisfying others is
really tiring. You can never force someone’s feeling to attached to something
if they can’t. Kalau kondisinya demikian, salahkah orang yang memang ga merasa
attached untuk ga ikut? You should know there’s some people who can’t easily
attached his/her feeling to something. And one of them is here. Bagi saya
berada bertahun-tahun (kuantitas) di suatu tempat bukan jaminan bahwa hati saya
akan terpaut disana sepenuhnya (kualitas).
Dengan tipikal manusia begini, apakah saya
punya teman dekat? Ada kok, tapi memang ngga banyak. Tapi saya bisa memastikan
kalau antara perasaan kami itu berbanding lurus, satu frekuensi. That’s what I
called “deep relationship” and I prefer that much than “wide relationship”.
Saya juga emang pilih-pilih maunya punya relasi dekat sama siapa. Bukankah itu
kecenderungan manusia? They want to be with someone who has similarity with
them or they want to be with someone they want. Saya juga ngobrol sama orang
lain yang sebenarnya saya ga pengen saya deket sama dia, tapi ketika saya
ngobrol, ketawa, ngeledek, becanda, dll sama kalian bukan berarti saya menaruh
perasaan ‘sedalam’ itu . Saya hanya berupaya berlaku sopan.
Intinya,
mungkin orang-orang di luar sana perlu memahami bahwa ada orang yang salah satu
prinsip hidupnya yaitu “Memastikan apakah perasaan yang saya rasakan ke
seseorang itu berbanding lurus dengan apa yang orang itu rasakan terhadap saya”.
Sehingga, anda tidak kecewa atau bertanya-tanya kenapa sih si A gamau ikutan. Kalo
memang mau “disambut” sama orang tipikal begini, you need more effort which
can’t instantly done. I don’t think our relationship will grow hanya dengan
makan bareng atau dengan jalan bareng musiman.
Komentar